Jembatan Suramadu

Jembatan Suramadu - Sumenep, Madura

Keraton Sumenep

Keraton - Sumenep, Madura

Pantai Lombang

Pantai Lombang - Sumenep, Madura

Pantai Slopeng

Pantai Slopeng - Sumenep, Madura

Asta Tinggi

Asta Tinggi - Sumenep, Madura

Kamis, 20 November 2014

Jembatan Suramadu

Jembatan Nasional Suramadu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jembatan Suramadu
Nama resmiJembatan Nasional Suramadu
Mengangkut8 lajur
MelintasiSelat Madura
DaerahJawa Timur
PengelolaPT Jasa Marga (sementara)
DesainCable stayed
Panjang total5438 m (17841 ft 2 in)
Lebar30 m (98 kaki)
Tinggi146 m (479 kaki)
Rentang terpanjang434 m (1,424 kaki)
Jumlah rentangan(jembatan utama)
(keseluruhan)
Ruang vertikal35 m (115 kaki)
Mulai dibangun20 Agustus 2003
Dibuka10 Juni 2009
TolRp. 30.000,00 (roda 4)
Rp. 3.000,00 (roda 2)[1]
Koordinat7°11′3″LU 112°46′48″BTKoordinat7°11′3″LU 112°46′48″BT
Jembatan Nasional Suramadu
Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) danPulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia. Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).
Jembatan ini diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009[2]. Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah 4,5 triliun rupiah.
Pembuatan jembatan ini dilakukan dari tiga sisi, baik sisi Bangkalan maupun sisi Surabaya. Sementara itu, secara bersamaan juga dilakukan pembangunan bentang tengah yang terdiri dari main bridge dan approach bridge.

Konstruksi

Jembatan Suramadu pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan ini menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan.

Jalan layang

Jalan layang atau Causeway dibangun untuk menghubungkan konstruksi jembatan dengan jalan darat melalui perairan dangkal di kedua sisi. Jalan layang ini terdiri dari 36 bentang sepanjang 1.458 meter pada sisi Surabaya dan 45 bentang sepanjang 1.818 meter pada sisi Madura.
Jalan layang ini menggunakan konstruksi penyangga PCI dengan panjang 40 meter tiap bentang yang disangga pondasi pipa baja berdiameter 60 cm.

Jembatan penghubung

Jembatan penghubung atau approach bridge menghubungkan jembatan utama dengan jalan layang. Jembatan terdiri dari dua bagian dengan panjang masing-masing 672 meter.
Jembatan ini menggunakan konstruksi penyangga beton kotak sepanjang 80 meter tiap bentang dengan 7 bentang tiap sisi yang ditopang pondasi penopang berdiameter 180 cm.

Jembatan utama

Jembatan utama atau main bridge terdiri dari tiga bagian yaitu dua bentang samping sepanjang 192 meter dan satu bentang utama sepanjang 434 meter.
Jembatan utama menggunakan konstruksi cable stayed yang ditopang oleh menara kembar setinggi 140 meter. Lantai jembatan menggunakan konstruksi komposit setebal 2,4 meter.
Untuk mengakomodasi pelayaran kapal laut yang melintasi Selat Madura, jembatan ini memberikan ruang bebas setinggi 35 meter dari permukaan laut. Pada bagian inilah yang menyebabkan pembangunannya menjadi sulit dan terhambat, dan juga menyebabkan biaya pembangunannya membengkak.

Dampak ekonomi dan kependudukan

Dengan adanya pembangunan jembatan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan pemerataan pendapatan di wilayah surabaya ke wilayah madura, begitu pula dengan kependudukan, mengingat wilayah surabaya yang semakin padat dengan penduduk yang melakukan urbanisasi yang sebagian besar berasal dari wilayah madura, pemerintah berharap dengan adanya pemerataan ekonomi ini dapat menekan laju urbanisasi tersebut.

Daftar Gerbang Tol

Gerbang TolKMTujuan
Surabaya0,0Jembatan Nasional Suramadu (arah Madura)
Madura5,4Jembatan Nasional Suramadu (arah Surabaya)

Gambar-gambar

Prangko Peresmian Jembatan Suramadu

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Jembatan_Nasional_Suramadu

Keraton Sumenep

Keraton Sumenep

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Karaton Songenep
Labhang Mesem.jpg
Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak di sebelah timur Gedhong Negeri
Informasi umum
LokasiBendera Indonesia SumenepJawa Timur
AlamatJalan dr. Soetomo, Kota Sumenep
Koordinat7°1′27,3″LU 113°53′24,74″BT
Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar(Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana dari pada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"

Pendiri

Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua beliau. Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.

Kompleks Bangunan Karaton

Lambang Kadipaten Sumenep Pada tahun 1811 - tahun 1965
Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Karaton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada zaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (bahasa belanda :konenglijk=kantor raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep(ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.
Mandiyoso, salah satu ruang di dalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan Karaton Dhalem dan Pendopo Agung

Struktur Penataan Kota

Konsep dasar perencanaan tata kota Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam : hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timur, arah tempat matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.

Prasasti Karaton Sumenep

Prasasti keraton Sumenep berisi wasiat Panembahan Somala tentang kompleks bangunan Karaton dan sekitarnya. Prasasti tersebut ditulis pada tahun 1200 H atau tahun ba' Bulan Muharram dengan huruf arab dan sekarang masih tersimpat di Museum Karaton Sumenep.
Tahun Hijriah Nabi SAW. 1200 (tahun ba') dibulan Muharram, inilah bangunan-bangunan (tempat tinggal) serta tanah-tanah wakaf Pangeran Natakusuma Adipati Sumenep. Semoga Allah SWT memberi ampun baginya dan kedua orang tuanya. Inilah bangunan serta tanah yang tidak dapat dirusak dan tidak dapat diwaris sebabb bangunan (termasuk tanah tersebut) adalah wakaf yang diperuntukkan untuk kebutuhan orang fair dan orang miskin. Saya memberi perintah kepada sekalian keturunan, atau kalau tidak ada sanggup, kepada lainnya guna memperbaiki mengawasi dan memlihara bangunan-bangunan dan tanah tersebut, bagi keturunan lainnya yang telah memlihara dan mengawasi wakaf itu semoga Allah SWT, mengaruniai keselamatan dunia maupun akherat.

Warisan Budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. antara lain :
  • Tari Gambuh,
Tari Gambu Keraton Sumenep
Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).
  • Tari Moang Sangkal,
Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya gelap (sesuatu yg menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu). Sedangkan sangkal adalah mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala (sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah : bila ada orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena membuat si gadis tersebut akan “sangkal” (tidak laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang Sangkal agak keras geraknya yang diiringi dengan gamelan dengan gending ”sampak” lalu mengalir pada gending ”oramba’-orambe’” yang mengisyaratkan para putri keraton menuju ke ”taman sare”. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih halus inilah mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (korridor keraton keraton menuju Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya kostum yang dipakai adalah warna ciri khas Songennep, merah dan kuning, karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi ”kapodhang nyocco’ sare” yang maksudnya ”Rato prapa’na bunga” (raja sedang bahagia). sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau folosofinya ”kapodang nyocco’ daun” maksudnya ”Rato prapa’na bendhu” (Raja sedang marah).
  • Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing (patek).

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Sumenep

Pantai Lombang

Pantai Lombang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutan Cemara udang di sepanjang bibir Pantai Utara Sumenep sepanjang 30 km, menambah suasana indahnya Bumi Sumekar
Pantai Lombang adalah salah satu pantai yang terletak di kabupaten Sumenep, Madura. Pantai ini tepatnya terletak di sebelah timur Sumenep, kira-kira 25km dari Kota Sumenep tepatnya di Kecamatan Batang-Batang. Pantai Lombang merupakan salah satu wisata alam unggulan di Bumi Sumekar. Di pantai ini, selain deburan ombak yang cukup tenang dan pasir putih yang sangat halus, para pengunjung juga akan disuguhi dengan rimbunnya pohon cemara udang yang berjajar mengikuti garis bibir pantai.


Sejarah tumbuhnya pohon Cemara Udang

Cemara Udang adalah endemi tumbuhan khas dari pantai ini, konon menurut sebagian besar masyarakat tumbuhan ini hanya tumbuh di Pantai Lombang dan beberapa pantai di perairan laut Tiongkok. Sejarah penyebaran pohon cemara udang di wilayah perairan Sumenep erat kaitannya dengan ekspedisi besar kekaisaran negeri Tiongkok dalam mengarungi perairan nusantara pada abad 15 yang dipimpin oleh Jenderal The Ho (Sampo Thai Kam), Jenderal Ma’huan dan Jenderal Ong Keng Hong, ketiganya juga dikenal dengan sebutan SAM PO TOA LANG yang artinya Tiga Pendekar Besar dan dalam logat Jawa kuno dikenal dengan nama Dempo Awang.
Muhibah tersebut membawa kapal sebanyak 62 armada, dengan pasukan perang 27.800 orang, konon muhibah besar itu merupakan suatu pelayaran terbesar kala itu. Bila berlayar seakan menutup keluasan lautan yang dilewatinya, banyak para negara tetangga yang merasa takjub dan khawatir. Kelihatannya memang seolah Kaisar daratan China memamerkan kekuatannya kepada negeri-negeri tetangga dan menunjukkan bahwa dirinya sebagai negara super power, adigang adigung adiguno, seolah tidak ada negara lain yang bisa melindunginya.
Tapi sesampainya di laut Jawa, salah satu kapal induk membentur batu karang sampai hancur, dg kejadian tsb Jenderal Ong Keng Hong selaku jurumudi utama meninggal dunia, kemudian semua armada dirapatkan ke pantai, maka tempat merapatnya kapal-kapal armada tersebut diabadikan dengan nama Mangkang, yang artinya wangkangnya kapal, letaknya sekitar 10km di sebelah barat kota Semarang. Karena Ong Keng Hong pemeluk agama Islam, maka dikuburkan secara Islam di daerah Gedongwatu.
Setelah selesai upacara penguburan lalu pelayaran muhibah besar tersebut dilanjutkan menuju ke pusat kerajaan Majapahit, tapi rupanya kemalangan masih tetap mengikuti mereka, kapal-kapal terbawa arus ke arah timur dan dilanda angin topan disekitar perairan Masalembu, maka sebagian banyak yang tenggelam, juga banyak yang hancur serta perlengkapannya banyak yang terdampar di pantai sekitar pulau Jawa dan Madura, seperti halnya : Jangkarnya ada di Pati, piringnya ditemukan di pantai Kamal yang kemudian diabadikan dengan nama Ujung Piring, tiangnya ditemukan di perairan masuk Kabupaten Sumenep, itiknya banyak beterbangan di selat Kamal maka bilamana kita naik perahu layar akan terdengar sayup-sayup suara itik mengalun.
Dari kisah diatas bisa dipastikan, bahwa beberapa tumbuhan "Cemara Udang" yang ada di perairan utara Kabupaten Sumenep, merupakan hasil dari sisa-sisa bawaan prajurit-prajurit yang terdampar di perairan Sumenep ketika dalam perjalanan ekspedisi muhibah tsb.

Lokasi

Secara administratif, Pantai Lombang terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Akses

Pantai Lombang terletak sekitar ± 30 km dari Kota Sumenep ke arah timur laut. Untuk mencapai lokasi, wisatawan dapat memanfaatkan angkutan umum, persewaan mobil, atau menyewa ojek dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan. Bila Anda berdomisili di luar Pulau Madura, Anda dapat menyeberang melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menuju Pelabuhan Kamal, Bangkalan Madura dengan kapal ferry. Dari Bangkalan, Anda dapat menggunakan angkutan umum menuju Kota Sumenep.

Harga Tiket

Biaya karcis untuk memasuki pantai ini adalah Rp 5.000 per orang.

Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Wisatawan yang ingin bermalam di pantai ini dapat mendirikan tenda di tepi pantai, sebab belum tersedia HOTEL di sekitar pantai ini. Fasilitas penginapan yang ada, yaitu pondok-pondok alami dari kayu, biasanya hanya diperuntukkan bagi peserta paket wisata dari agen perjalanan tertentu. Apabila terpaksa harus menginap, wisatawan dapat memperoleh jasa hotel di Kota Sumenep.
Di pantai ini telah tersedia kamar bilas bagi para pengunjung untuk membersihkan badan sehabis bermain pasir atau berenang. Jika ingin duduk-duduk santai, wisatawan dapat memanfaakan beberapa tempat duduk atau warung-warung kecil di pinggir pantai yang menjual `es degan` (kelapa muda) serta `rujak lontong` (rujak Madura). Di tengah teriknya matahari, rujak lontong yang lezat, serta segarnya es degan sangat cocok untuk dinikmati.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Lombang

Pantai Slopeng

Pantai Slopeng merupakan salah satu Pantai Utara di Sumenep selain Pantai Lombang, Pantai ini terletak di Kecamatan Dasuk, 21 km dari Pusat Kota Sumenep. Pantai ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu hamparan Pasirnya yang cukup menggunung berhias pohon siwalan, pohon kelapa dan juga cemara udang, sehingga para wisatawan dapat menikmati keindahan laut pantai utara Madura ini dari bukit-bukit yang tergolong landai ini.

Ciri Khas

Jejeran Perahu Madura, di Pantai Slopeng, Sumenep
Pantai Slopeng memiliki hamparan pasir yang membentang sepanjang 6 km. Pasir-pasir putih tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk bersantai di tepian pantai. Uniknya, tidak hanya hamparan pasir putih, tetapi pasir putih di pantainya menggunung. Anda bisa bermain pasir sepuasnya di sini.
Suasana tenang dan nyaman akan Anda dapatkan. Dengan lambaian pohon-pohon kelapa, nuansa pantai yang khas sangat terasa. Puas bersantai, saatnya bermain air. Air laut di Pantai Slopeng berwarna jernih dan bersih.
Arus lautnya pun cukup tenang, jadi tak perlu takut diterpa arus yang kuat. Anda dapat menikmati lautan yang biru dengan pemandangan langit yang luas. Dengan tenangnya suasana, Anda akan betah berlama-lama menikmati pantainya.
Pesona Pantai Slopeng akan bertambah saat senja tiba. Ada sunset yang berwarna keemasan menyinari hamparan pasir putihnya. Bayangan Anda akan terlihat jelas saat berdiri di pantainya dengan disinari cahaya sang senja yang tenggelam. Pemandangan ini harus diabadikan dalam kamera.[1]

Fasilitas

Untuk menunjang aktifitas kepariwisataan di lokasi ini, Pemkab Sumenep telah membangun beberapa fasilitas penunjang pantai, seperti Kantor, Kamar Bilas, Gazebo, Panggung Hiburan, Pesangrahan, Taman Bermain, dan juga terdapat pohon cemara yang sangat indah, dengan bukit pasirnya yang tinggi membuat panorama pantai slopeng begitu diminati oleh para pengunjung wisatawan. by. Arius Gerahandi, S.Kom

Menuju Lokasi

Untuk menuju Pantai yang satu ini para wisatawan bisa melewati beberapa akses jalan pantai Utara Kab. Sumenep. Akses tersebut bisa dilalui dari Pantai Lombang - Legung - Pantai Slopeng lewat jalan by pass yang sedang dibangun oleh pemerintah. atau bisa juga bisa melalui jalur Sumenep - Ambunten - Pantai Slopeng.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Slopeng

Asta Tinggi

Asta Tinggi Sumenep

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pasarean Agung Asta TinggiKompleks Makam Raja-Raja Sumenep
Asta Tinggi.jpg
Pintu Gerbang utama Asta Induk dalam kompleks makam Asta Tinggi, bangunannya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa
Informasi umum
LokasiBendera Indonesia SumenepJawa Timur
AlamatJalan Raya Asta Tinggi, Kebon Agung, Kota Sumenep
Koordinat7°1′27,3″LU 113°53′24,74″BT
Asta Tinggi adalah kawasan pemakaman khusus para Pembesar/Raja/Kerabat Raja yang teletak di kawasan dataran tinggi bukit Kebon Agung Sumenep. Dalam Bahasa Madura, Asta Tinggi disebut juga sebagai Asta Rajâ yang bermakna makam para Pangradjâ (pembesar kerajaan) yang merupakan asta/makam para raja , anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya yang dibangun sekitar tahun 1750M. Kawasan Pemakaman ini direncanakan awalnya oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan pelaksanaanya oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I dan Panembahan Natakusuma II

Asta Tinggi memiliki 7 kawasan[

1. Kawasan Asta Induk, terdiri dari :
  • Kubah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
  • Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro ( Bendoro Saod ),
  • Kubah Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III ( Pangeran Akhmad atau Pangeran Djimat ) , yang kubahnya tersebut berasal dari Pendopo Kraton Pangeran Lor/Wetan,
  • Pangeran Pulang Djiwo yang kubahnya tersebut juga berasal dari Kraton Pangeran Lor/Wetan,
  • Pemakaman Istri-istri serta selir Raja-Raja Sumenep,
2. Kawasan Makam Ki Sawunggaling Konon diceritakan bahwa K. Saonggaling adalah pembela Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bendoro Moh. Saod) pada saat terjadinya upaya kudeta/perebutan kekuasaan oleh Patih Purwonegoro),
3. Kawasan Makam Patih Mangun,
4. Kawasan Makam Kanjeng Kai/Raden Adipati Suroadimenggolo Bupati Semarang (mertua Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I),
5. Kawasan makam Raden Adipati Pringgoloyo / Moh. Saleh, dimana beliau tersebut pada masa hidupnya menjabat sebagai Patih pada Pemerintahan Panembahan Somaladan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I,
6. Kawasan Makam Raden Tjakra Sudibyo, Patih Pensiun Sumenep,
7. Kawasan Makam Raden Wongsokoesomo.

Arsitektur Makam[sunting | sunting sumber]

Arsitektur Makam dalam kompleks ini sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang berkembang pada masa Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan kompleks makam dan beberapa batu nisan yang cenderung berkembang pada masa awal islam berkembang di tanah Jawa dan Madura. Selain itu pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Tiongkok terdapat pada beberapa ukiran yang berada pada kubah makam Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, makam Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III dan makam Pangeran Pulang Djiwo.
Selain itu pengaruh Arsitektur Eropa mendominasi bangunan kubah makam Sultan Abdurrhaman Pakunataningrat I dan Makam Patih Mangun yang ada di luar Asta induk. Dalam kawasan kubah makam Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, Seluruh bangunnannya dipengaruhi gaya arsitektur klasik, kolom-kolom ionic masih dipakai dibeberapa tempat termasuk juga pada Kubah Makamnya.

Mitos makam Pangeran Dipenogoro di Kompleks Asta Tinggi

Keberadaan Makam Pahlawan Nasional "Pangeran Dipenogoro" di Kawasan Kompleks makam Asta Tinggi dijelaskan dalam Babad Sumenep yang ditulis oleh R. Werdhisasta sebagai berikut :
Kaotja’a radji patmèna Soltan èngghâpanèka pottrèna Kyaè Adipati Soeroadimenggolo, Boepatè Samarang ; mèlaèpon nalèka perrang Dhipanaghârâ, serrèng Kandjeng Soltan aperrang sareng bhâlâ-bhâlâna dhibi’ dâri Samarang, sè padâ noro’ dâ’ Pangèran Dhipanaghârâ. Abiddhâ Kandjeng Soltan Songennep sè aperrang è Djhoekdjakarta 19 boelân, pas ghoebhâr ka Songennep. Dhinèng bhâlâ pandjhoeriddhâ èdhingghâl è Djhoekdjâ kantos saoboessa perrang. Sè dhâddhi kapalana pandjhoerit Songennep èngghâpanèka tra-pottrana kandjeng Soltan, bânnja’na kaempa :
  • Pangèran Koesoema Senaningalaga, Kolonel Commandant pandjhoerit Songennep,
  • Pangèran Koesoema Sinrangingrana, Luitenant Kolonel Infanterie,
  • Pangèran Koesoema Soerjaningjoeda, Majoor Artilerie (èsebboet Pangèran Marijem ),
  • Pangèran Tjandranimprang, Majoor Cavalerie.
Abiddhâ perrang è Djhoekdjakarta 5 taon, oboessa ètaon 1830. Pangèran Dhipanaghârâ èallè dâ’ Songennep ................

Selain petikan babad tersebut, dijlaskan juga bahwa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I pernah memberi wasiat kepada seluruh keturunan abdi dalem keraton dan para sentana keraton Songennep, dengan memberikan nama kepada para penjaga Asta Tinggi seperti Kaji SèngngaKaji BuddhiKaji NanggerKaji MakamKaji JhâjâbângsaKaji JhâjâaddurKaji Sekkar, dan Kaji Langghâr. Bilama nama-nama tersebut dirangkai dirangkai maka akan terjadi suatu kalimat yg berbunyi sebagai berikut : “Sènga’ sopajâ èkatao-è, jhâ’ è buḍina Asta tèngghi arèya baḍa bungkana nanggher, è seddhi’na nanggher bâḍâ kobhurânna orèng sè abillai kajhâjâ-ân bhângsa tor abhillai agâma. Ngarep sopajâ èsekkarè (diziarahi), mon ta’ sempat, kèbâ kèyaè soro duwâ’âghi”.
yang artinya :
Awas, supaya diketahui, bahwasanya dibelakang Asta Tinggi ini ada sebatang pohon angger dan disebelahnya ada kuburan seseorang yang membela kejayaan bangsa dan agama. Mohon supaya diziarahi, dan bilamana tidak sempat, bawalah seorang kiyai untuk didoakan.

Upaya pengeboman kawasan Asta Tinggi oleh tentara penjajah

disebutkan dalam buku Perjalanan dari Soengenep ka Batawi, karya Raden Sastro Soebrata terbitan Balai Pustaka tahun 1920. Konon memuat cerita, bahwa kawasan makam asta tinggi pernah dilakukan pengeboman jarak jauh (dari atas kapal laut di Kalianget) oleh tentara Inggris karena mengira bahwa bangunan tersebut adalah istana kerajaan. Namun, pengeboman tersebut tidak sampai menghancurkan asta tinggi karena jatuh di luar kawasan.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Asta_Tinggi_Sumenep